image : lintasgayo.com |
Belanda, pada tahun 1945 mengumandangkan kemenangannya atas Indonesia melalui siaran radio Hilversum. Namun, propaganda tersebut berhasil dipatahkan oleh Radio Rimba Raya.
======================================
Radio Rimba Raya merupakan saksi sejarah era
kemerdekaan yang memberitakan tentang proklamasi Indonesia, ketika melawan
Belanda tahun 1945. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan
Indonesia. Mereka (Belanda) mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda)
kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi.
Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran
Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan
Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di
Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina)
bahkan Australia dan Eropa.
Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu,
banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Berita
yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan
Belanda.
Perangkat Radio Rimba Raya itu dipesan oleh
tentara Divisi Gajah I dan dibeli melalui raja penyelundup Asia Tenggara waktu
itu, John Lie (seorang pahlawan nasional, Tionghoa dari Manado) yang menjadi
perantara pembelian perangkat radio tersebut, menjelang Agresi Militer Belanda
I bulan Juli 1947. Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di Malaya dan dibawa
ke kota juang Bireuen.
Untuk mengangkut perangkat penyiaran dari Malaya
ke Aceh, John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan
makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika
berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan
kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan.
Patroli Belanda terpancing lalu mengejar
speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan speedboat yang berisi
alat pemancar dengan enak melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di Sungai
Yu, Aceh Timur.
Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang
membeli peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah menjabat Wakil Pemerintah
Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan.
Gubernur Militer waktu itu dijabat Daud Beureueh.
Nip Xarim membeli perakatan radio itu bersama Dr.
Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I 1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan.
Peralatan dibeli di Malaya. Sejarawan UGM, Mukhtar Ibrahim membenarkan hal ini.
Dalam buku berjudul “Peranan Radio Rimba Raya”
terbitan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Aceh, disebutkan
sebelum di Rime Raya, pemancar radio dipasang di Krueng Simpo. Sementara
studionya dibawa ke kediaman Kolonel Husein Yoesoef, Komandan Tentara Republik
Indonesia Divisi Gajah I, di Bireuen.
Radio menggunakan pemancar merek Marcori yang
dibawa dari Malaysia oleh Mayor John Lie. Ia penyeludup kelas wahid kala itu
yang oleh Belanda di juluki “The Greatest Smuggler of the Southeast”.
Perangkat pemancar itu didaratkan di Kuala Yu,
Kuala Simpang. Di sana, John Lie disambut Nukum Sanani atas perintah Daud
Beureueh, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Setelah itu perangkat
radio dibawa ke Langsa dan selanjutnya ke Bireuen.
Namun versi lain menyebutkan pada awal agresi
militer Belanda pertama, 27 Juli 1947, perangkat pemancar dibawa Kapten NIP
Karim (ada yang menulisnya Nip Xarim). Ia Komandan Batalyon B di Tanjung Pura,
Langkat. Karim juga pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan
Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan. Lalu Husein Yoesoef
meminta NIP Karim membawa pemancar ke Bireuen.
Ikmal Gopi yang meneliti riwayat John Lie,
menyebutkan sang mayor berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada 1947
saat meletus agresi militer pertama. Baru pada September 1947, kata Ikmal, John
Lie singgah ke Pelabuhan Bilik Medan lalu ke Pelabuhan Raja Ulak di Kuala
Simpang.
Yang pasti, tak lama di Bireuen, beberapa bulan
kemudian pemancar dipindahkan ke Cot Gue, Kutaraja (Banda Aceh). Alasan
pemindahan menurut Ikmal karena kondisi keamanan dan untuk mempercepat
pemberitaan perjuangan kemerdekaan.
Di Kutaraja, pemancar radio dipasang di Cot Gue.
Sedangkan studio dibuat dalam sebuah gedung peninggalan Belanda di Peunayong.
Antara pemancar dan studio terhubung kabel.
Namun ketika pemancar di Cot Gue sedang dipasang,
Belanda melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Daud Beureueh
memerintahkan pemancar dipindahkan ke Gayo.
Seperti tercatat dalam prasasti tadi, setelah
Yogya jatuh, Belanda mulai menguasai wilayah-wilayah lain di Indonesia kecuali
Aceh. Sehari kemudian perangkat pemancar diberangkatkan secara diam-diam ke
Aceh Tengah, di Kampung Rime Raya, Kecamatan Timang Gajah. Pemancar tersebut
akhirnya didirikan di Krueng Simpo, sekitar 20 kilometer dari Bireuen arah Takengon.
Namun masalah timbul, tak ada mesin listrik. Ummi
Salamah, istri Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen.
Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang.
Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Setelah dicari kabel
akhirnya ditemukan di Lampahan dan Bireuen.
Radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi.
Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Sedangkan
studio radio berada di salah satu kamar rumah Husein Yoesoef.
Pemasangan radio dilakukan beberapa desertir
pasukan Sekutu seperti W Schult, Letnan Satu Candra, Sersan Nagris, Sersan
Syamsuddin, Abubakar, dan Letnan Satu Abdulah. Mereka tentara Inggris yang
bergabung dengan Sekutu.
Para desertir membantu membuat gubuk dan
membangun radio sesuai keahlian masing-masing. Studio dibangun di bawah pohon
tinggi dan rindang. Antena ditancapkan di atas pohon. Di gubuk juga dipasang
pesawat radio penerima berita khusus.
Dengan mesin diesel, radio mengudara sejak pukul
16.00 hingga 18.00 WIB. Selain bahasa Indonesia, beberapa bahasa asing
digunakan saat siaran seperti Inggris, Belanda, Arab, Cina, Urdu, India, dan
Pakistan Madras.
Para desertir itulah yang menyiarkan siaran dalam
bahasa asing. Seperti tertera dalam prasasti di bawah tugu, sesudah mengudara
menembus angkasa, Radio Rimba Raya mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia masih
ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar