images : Acehkita.com |
Pertanyaan tentang siapa Wali
Nanggroe (WN) pertama sampai delapan setelah ditetapkan Tgk Malik Mahmud Al
Haytar sebagai WN Ke-9 saat pengesahan Rancangan Qanun (Raqan) WN menjadi Qanun
oleh DPRA, Jumat (2/11) sore terjawab sudah.
Adalah Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA-PA), Tgk Muhammad Yahya Muaz SH yang menjelaskan nama-nama wali nanggroe pertama sampai sembilan saat menjadi narasumber pada acara Sosialisasi Kebijakan Politik Pemerintah Aceh yang dilaksanakan Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh di aula kantor setempat, Senin (12/11).
Penjelasan itu disampaikan Yahya Muaz menjawab pertanyaan Yusri Abdullah, salah seorang peserta pada sesi tanya jawab pada acara tersebut.
Sebelumnya, pada sosialisasi itu, Yahya Muaz menyampaikan materi berjudul “Peran dan Kedudukan Bendera, Lambang, dan Himne Aceh menjadi Simbol dan Indentitas Aceh ke depan sebagai Implementasi UUPA Sesuai Amanah MoU Helsinki.”
Menurutnya, pergantian WN Ke-1 sampai delapan semuanya karena WN sebelumnya meninggal dunia (syahid). Terhadap pertanyaan peserta lainnya yaitu Husniati Bantasyam yang mempersoalkan mengapa WN tak dipilih oleh rakyat seperti gubernur, Tgk Yahya Muaz mengatakan, wali nanggroe tak dipilih oleh rakyat karena wali nanggroe bukan lembaga politik atau pemerintahan.
“Jika wali nanggroe dipilih oleh rakyat, itu bertentangan dengan UUPA. Wali nanggroe adalah pemersatu dalam sistem dan peradaban rakyat Aceh,” ujarnya. Penjelasan hampir sama juga disampaikan narasumber lainnya Prof Dr Husni Jalil SH MH (Dosen Fakultas Hukum Unsyiah) dan Barlian AW (pemerhati sosial budaya).
Terkait klausul lain dalam Qanun WN yang dalam beberapa waktu terakhir ramai diperdebatkan yaitu soal syarat calon WN harus fasih berbahasa Aceh yang juga ditanyakan peserta sosialisasi itu, Tgk Yahya Muaz mengatakan, perdebatan itu terjadi karena orang salah menafsirkan bahasa Aceh yang dimaksudkan dalam qanun tersebut. “Bahasa Aceh adalah semua bahasa yang ada di Aceh seperti bahasa Gayo, Tamiang, Kluet, dan Aneuk Jamee. Cuma selama ini, orang salah mengklaim seolah-olah bahasa Aceh adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir,” jelasnya.
Amatan Serambi, isu lain yang muncul dalam diskusi itu antara lain peserta berharap sosialisasi qanun WN harus dilakukan sampai ke daerah-daerah agar masyarakat lebih memahami isi qanun tersebut.
Peserta sosialisasi itu juga berharap wali naggroe menjadi milik seluruh rakyat Aceh dan bukan milik kelompok tertentu. “Manfaat Wali Naggroe Aceh harus bagi keseluruhan rakyat Aceh,” pinta seorang peserta kegiatan itu.
Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh, Drs Bustami Usman SH MSi, saat membuka acara tersebut antara lain menjelaskan, sosialisasi itu diikuti 100-an peserta yang terdiri dari aparatur pemerintahan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, camat, mukim, ormas/OKP, dan sejumlah elemen masyarakat lainnya dari Banda Aceh dan Aceh Besar.
Bustami berharap, melalui sosialisasi itu akan terbangun kerja sama yang sinergis antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota bersama seluruh komponen masyarakatnya. “Ke depan juga masih perlu kerja keras semua kita untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat yang belum sependapat tentang adanya kebijakan politik Pemerintah Aceh berkaitan dengan Wali Nanggroe beserta bendera, lambang daerah, dan himne Aceh,” jelas Bustami Usman.(jal)
Adalah Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA-PA), Tgk Muhammad Yahya Muaz SH yang menjelaskan nama-nama wali nanggroe pertama sampai sembilan saat menjadi narasumber pada acara Sosialisasi Kebijakan Politik Pemerintah Aceh yang dilaksanakan Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh di aula kantor setempat, Senin (12/11).
Penjelasan itu disampaikan Yahya Muaz menjawab pertanyaan Yusri Abdullah, salah seorang peserta pada sesi tanya jawab pada acara tersebut.
Sebelumnya, pada sosialisasi itu, Yahya Muaz menyampaikan materi berjudul “Peran dan Kedudukan Bendera, Lambang, dan Himne Aceh menjadi Simbol dan Indentitas Aceh ke depan sebagai Implementasi UUPA Sesuai Amanah MoU Helsinki.”
Menurutnya, pergantian WN Ke-1 sampai delapan semuanya karena WN sebelumnya meninggal dunia (syahid). Terhadap pertanyaan peserta lainnya yaitu Husniati Bantasyam yang mempersoalkan mengapa WN tak dipilih oleh rakyat seperti gubernur, Tgk Yahya Muaz mengatakan, wali nanggroe tak dipilih oleh rakyat karena wali nanggroe bukan lembaga politik atau pemerintahan.
“Jika wali nanggroe dipilih oleh rakyat, itu bertentangan dengan UUPA. Wali nanggroe adalah pemersatu dalam sistem dan peradaban rakyat Aceh,” ujarnya. Penjelasan hampir sama juga disampaikan narasumber lainnya Prof Dr Husni Jalil SH MH (Dosen Fakultas Hukum Unsyiah) dan Barlian AW (pemerhati sosial budaya).
Terkait klausul lain dalam Qanun WN yang dalam beberapa waktu terakhir ramai diperdebatkan yaitu soal syarat calon WN harus fasih berbahasa Aceh yang juga ditanyakan peserta sosialisasi itu, Tgk Yahya Muaz mengatakan, perdebatan itu terjadi karena orang salah menafsirkan bahasa Aceh yang dimaksudkan dalam qanun tersebut. “Bahasa Aceh adalah semua bahasa yang ada di Aceh seperti bahasa Gayo, Tamiang, Kluet, dan Aneuk Jamee. Cuma selama ini, orang salah mengklaim seolah-olah bahasa Aceh adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir,” jelasnya.
Amatan Serambi, isu lain yang muncul dalam diskusi itu antara lain peserta berharap sosialisasi qanun WN harus dilakukan sampai ke daerah-daerah agar masyarakat lebih memahami isi qanun tersebut.
Peserta sosialisasi itu juga berharap wali naggroe menjadi milik seluruh rakyat Aceh dan bukan milik kelompok tertentu. “Manfaat Wali Naggroe Aceh harus bagi keseluruhan rakyat Aceh,” pinta seorang peserta kegiatan itu.
Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Aceh, Drs Bustami Usman SH MSi, saat membuka acara tersebut antara lain menjelaskan, sosialisasi itu diikuti 100-an peserta yang terdiri dari aparatur pemerintahan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, camat, mukim, ormas/OKP, dan sejumlah elemen masyarakat lainnya dari Banda Aceh dan Aceh Besar.
Bustami berharap, melalui sosialisasi itu akan terbangun kerja sama yang sinergis antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota bersama seluruh komponen masyarakatnya. “Ke depan juga masih perlu kerja keras semua kita untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat yang belum sependapat tentang adanya kebijakan politik Pemerintah Aceh berkaitan dengan Wali Nanggroe beserta bendera, lambang daerah, dan himne Aceh,” jelas Bustami Usman.(jal)
Wali Nanggroe dari Masa ke Masa
1. Tgk Chik di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman
2. Tgk Chik di Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman
3. Tgk Chik di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman
4. Tgk Chik di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman
5. Tgk Chik di Tiro Mahjuddin bin Muhammad saman
6. Tgk Chik Ulèë Tutuë alias Tengku Tjhik di Garôt Muhammad
7. Tgk Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin
8. Tgk Hasan Muhammad di Tiro
9. Tgk Malik Mahmud Al Haytar
1. Tgk Chik di Tiro Muhammad Amin bin Muhammad Saman
2. Tgk Chik di Tiro Abdussalam bin Muhammad Saman
3. Tgk Chik di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman
4. Tgk Chik di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman
5. Tgk Chik di Tiro Mahjuddin bin Muhammad saman
6. Tgk Chik Ulèë Tutuë alias Tengku Tjhik di Garôt Muhammad
7. Tgk Chik di Tiro Muaz bin Muhammad Amin
8. Tgk Hasan Muhammad di Tiro
9. Tgk Malik Mahmud Al Haytar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar