Foto : ZULKIFLI ANWAR | ATJEHPOSTcom |
Di Aceh, banyak pejuang kemerdekaan yang gugur
dalam peperangan mengusir Kolonial. Salah satunya, Pang Nanggroe. Bagaimana
kisah perjuangan Pang Nanggroe bersama istrinya Cut Meutia sang Pahlawan
Nasional?
Pang Nanggroe ialah teman Teuku Cut Muhammad
(Teuku Chik Di Tunong), Uleebalang Keureuto. Sebelum dihukum tembak oleh
serdadu Belanda di tepi pantai Lhokseumawe, Teuku Chik Di Tunong berpesan
kepada istrinya, Cut Meutia agar menikah dengan Pang Nanggroe setelah ia
meninggal dunia. Tujuannya supaya Cut Mutia dan Pang Nanggroe melanjutkan
perjuangan mengusir penjajah.
Cut Meutia akhirnya menikah dengan Pang
Nanggroe. Tak lama kemudian, Pang Nanggroe, Cut Mutia dan Teuku Raja Sabi (anak
Teuku Chik Di Tunong dan Cut Meutia) meninggalkan daerah Keureutoe bersama Pang
Lateh dan pengikutnya menuju kubu pertahanan ayah Cut Meutia, Teuku Ben Daud
Pirak ke hulu Krueng (Sungai) Jambo Aye. Jalan yang dilalui cukup sulit,
melalui tebing dan jurang.
Kehadiran mereka menggembirakan rakyat dan
memberi daya dorong yang besar untuk terus berjuang, apalagi dengan turut
sertanya ulama besar Teuku Chik Paya Bakong (Teungku Seupot Mata) dan Teungku
Paya Bakong (Teungku Di Mata Ie). Saat itu mereka memperkuat kubu pertahanan
untuk menggempur pasukan Belanda setiap ada kesempatan, sehingga Belanda
kewalahan menghadapi perang gerilya.
Untuk mengimbangi penyerangan Pang Nanggroe dan
Cut Meutia bersama pengikutnya yang banyak membawa kerugian bagi pihak Belanda,
maka Belanda membentuk pasukan khusus gerak cepat yang terdiri dari prajurit
pilihan yaitu Kolone Macan.
Pasukan Pang Nanggroe melakukan penyerangan bivak
(pos pasukan), merusak jalan kereta api dan jembatan dengan hasil yang
gemilang.
Di antara pimpinan tentara Belanda yang terkenal,
Mosselman Christoffel, Van Der Vler, Van Slooten, di mana tentang siasat Pang
Nanggroe diceritakan oleh Moselman bahwa Pang Nanggroe memotong kayu besar
dengan tidak berbekas dan tidak dirobohkan, membuat jerat untuk menjebak
Belanda, menyebarkan isu-isu palsu sehingga Belanda tertipu dan terus
menyerang, batang kayu dirobohkan dan berbagai strategi lain yang dibuat Pang
Nanggroe.
Penambahan pasukan Belanda tidak melunturkan
semangat Cut Meutia, Pang Nanggroe dan pengikutnya. Bahkan mereka tetap berani
menghadang serdadu Belanda.
Belanda kemudian mengeluarkan kebijakan politik
baru dengan mendekatkan diri terhadap rakyat, membujuk agar memberitahukan
tempat yang digunakan sebagai kubu pertahanan para pejuang Aceh dengan memberi
imbalan yang cukup menyenangkan.
Belanda mendirikan bivak di beberapa tempat untuk
mempersempit gerakan pejuang Aceh. Pasukan Pang Nanggroe dan Cut Meutia tidak
lagi menyerang bivak-bivak Belanda, lebih banyak bertahan di sekitar hulu
Krueng Jambo Aye.
Pertengahan 1909, Belanda terus menggempur kubu
pasukan Muslimin yang pada benteng tersebut terdapat Pang Nanggroe, Pang Lateh,
Teuku Ben Daud, Teuku Ben Pirak (abang Cut Meutia).
Pada waktu Subuh diadakan pengepungan oleh
Belanda di Krueng Jambo Aye, dalam pertempuran itu gugur Teuku Ben Pirak.
Sedangkan Cut Meutia, Pang Nanggroe, Teuku Ben Daud Pirak dan pengikut lainnya
dapat meloloskan diri.
Dalam beberapa kali pengepungan oleh Belanda,
Pang Nanggroe dan Cut Meutia selalu berhasil menyelamatkan diri.
Pada Maret 1910, mereka menuju daerah Peutoe,
setelah penyerbuan oleh Belanda ke rawa-rawa Krueng Jambo Aye dan terus
bergerak ke Matang Raya tanpa mengenal lelah. Banyak pengikut Pang Nanggroe
gugur selama dalam perjalanan yang tak pernah henti dari pengepungan Belanda.
Akhirnya pada sore tanggal 26 September 1910,
brigade Van Sloten yang menempuh perjalanan cukup berat dalam rawa-rawa,
berjarak sekitar 200 meter dari pasukan Pang Nanggroe, tiba-tiba seorang
marsose jatuh dalam lumpur. Lalu pasukan pejuang Aceh langsung menembak Belanda
itu hingga terjadi pertempuran hebat.
Pang Nanggroe jatuh di samping Teuku Raja Sabi
yang saat itu langsung berusaha menolong untuk merawat ayah tirinya. Tapi Pang
Nanggroe menyadari bahaya yang mengancam Teuku Raja Sabi, yang tidak dapat
membantunya lagi karena luka parah menanti ajalnya.
Sambil memungkuk, Pang Nanggroe membisiki anakn
tirinya, Teuku Raja Sabi dalam bahasa Aceh, ”Plung laju jak seutot mak, lon ka
mate (lari cepat pergi menyusul ibu/Cut Meutia, saya sudah meninggal)”.
Teuku Raja Sabi pun sadar. Ia kemudian
meninggalkan tempat itu menyelamatkan diri dan naik ke pohon besar di Paya
Cicem. Cut Meutia juga berhasil meloloskan diri dengan Pang Lateh. Mereka
melanjutkan perjuangan.
Ketika pasukan Van Sloten tiba, Pang Nanggroe
telah gugur yang dianggap Belanda sebagai Watergeus. Dengan susah payah jenazah
Pang Nanggroe dibawa ke Lhoksukon untuk dipersaksikan pada rakyat yang
mengenalnya. Pang Nanggroe dimakamkan di kota Lhoksukon.
Kisah tersebut ditulis oleh Ali Akbar, mantan
Kepala Kantor Depdikbud Aceh Utara tahun 1987, dalam bukunya ”Perjuangan Cut
Nyak Meutia di Rimba Pasai”.
***
Hasil penelusuran ATJEHPOSTcom, Selasa, 12
November 2012, diketahui makam Pang Nangroe berada di Desa Meunasah Pante,
Lhoksukon, Aceh Utara. Makam Pang Nanggroe berdampingan dengan kubur Pang Lateh
yang telah dipugar lengkap dengan pembangunan cungkup makam oleh Pemerintah
Aceh Utara.
Di belakang komplek makam Pang Nanggroe dan Pang
Lateh, ada pabrik padi. Samping kiri lokasi bongkar muat SPSI Lhoksukon Expres,
sisi kanan rumah warga yang berada di atas tanggul sungai.
Kondisi di dalam makam cukup bersih. Namun
rerumputan tumbuh subur di sekeliling bangunan komplek makam. Di lokasi ini
muncul bau menyengat dari limbah buangan masyarakat setempat.
Untuk menuju lokasi makam Pang Nanggroe dan Pang
Lateh sangatlah mudah. Setelah masuk ke pusat pertokoan Kota Lhoksukon dan
melewati Kantor Pos setempat, sedikit belokan ke arah kiri tanggul sekitar 50
meter dari Kantor Pos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar