Kolektor naskah kuno Aceh, Tarmizi A Hamid (kiri), memperlihatkan dua kitab kuno yang memberitakan tentang bencana gempa bumi yang terjadi di Aceh masa lalu, Jumat (13/4/2012). |
SERAMBINEWS.COM -
Kitab-kitab klasik bertuliskan aksara atau huruf Arab berbahasa Melayu
nyaris berada di ambang kepunahan. Untung Erwin Mahrus dan teman- teman
peneliti naskah klasik lain tidak ambil perhatian akan keberadaan naskah klasik
tersebut.
Dosen Sejarah Pendidikan Islam STAIN
Pontianak ini yang sekaligus peneliti naskah klasik aksara Arab berbahasa
Melayu, mengabdikan diri bersama dosen-dosen lain di bawah naungan Pusat
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (P3M) STAIN Pontianak. Tujuannya tak
lain melestarikan keberadaan naskah klasik yang pernah menjadi media pembelajaran
serta media komunikasi jaya pada kurun waktu 17 hingga 19 Masehi.
"Pada era 17 sampai 19 M,
masyarakat lebih mengenal aksara Arab berbahasa Melayu ketimbang huruf latin.
Bahkan, kala saya duduk di bangku sekolah dasar pada tahun 70-an, pelajaran
dengan menggunakan naskah aksara Arab berbahasa Melayu masih didapat murid di
Sambas," ujarnya kepada Tribunpontianak.co.id (Tribun NetWork), Senin
(23/7/2012).
Penggunaan media aksara Arab
berbahasa Melayu tentunya tidak lepas dari pengaruh ulama-ulama serta
pemuka-pemuka Islam terdahulu. Kalbar, katanya, memiliki ulama-ulama yang
menuliskan buah pikir ke dalam naskah. Untuk menyebut misal, Muhammad Basiuni
Imran dan Mufti Kerajaan Kubu, Ismail Mundu adalah dua tokoh berpengaruh yang
meninggalkan naskah klasik yang ditulis dengan menggunakan huruf arab berbahasa
Melayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar