Sabtu, 31 Desember 2011

"Laknat di Negeri Syariat"

Peta Nanggroe Aceh Darussalam

 DENGAN bermodalkan penduduk yang mayoritas muslim dan pernah menjadi pusat peradaban Islam pertama di nusantara pada masa lalu membuat Aceh layak menyandang gelar ‘Serambi Mekkah’. Sebuah gelar yang tidak mudah didapat dan hanya menjadi hak paten bagi Aceh. Meskipun banyak wilayah di nusantara yang berpenduduk mayoritas Islam seperti Sumatra Barat, namun gelar kehormatan tersebut cuma diberikan untuk Aceh. Sebuah negeri yang katanya pernah berjaya di masa Sultan Iskandar Muda. Negeri yang dikenal sebagai tanah lahirnya para ulama besar. Demikian hebatnya Islam di Aceh masa lalu, sampai–sampai pencuri juga digelari dengan panggilan ‘teungku’.

Fanatisme Orang Aceh
Dari dulu sampai sekarang rakyat Aceh terkenal dengan sikap yang luar biasa fanatik terhadap agama. Sebuah kebanggaan yang terkadang sulit dipertanggung jawabkan. Orang Aceh akan marah jika dituduh bukan Islam, meskipun jika ditinjau mereka tidak pernah menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Walaupun mereka tidak pernah salat tetapi gelar teungku tetap akan didapatnya secara gratis.

Aceh juga dikenal dengan daerah yang paling giat merayakan hari–hari besar Islam seperti maulid Nabi, isra` mi`raj, nisfu sya`ban, nuzul Quran, dll. Sebagai contoh, perayaan maulid Nabi yang diperingati setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul Awal, meskipun tanggal lahir Nabi Saw masih diperselisihkan oleh para ahli sejarah (pendapat terkuat nabi lahir pada tanggal 8 atau 9 rabiul awal). Peringatan maulid Nabi di Aceh biasanya dirayakan secara besar–besaran sampai–sampai ada sebagian masyarakat Aceh yang menganggap rutinitas ini sebagai sebuah kewajiban. Buktinya jika ada orang yang tidak melakukan “khanduri mulod” maka orang tersebut akan dituduh sebagai orang yang tidak cinta kepada Nabi. Saya bukannya hendak memperdebatkan boleh atau tidaknya maulid, saya cuma hendak memberi gambaran tentang tingginya fanatisme masyarakat Aceh terhadap Islam (meskipun terkadang mereka terkesan larut dalam seremonial dan melupakan inti ajaran Islam yang murni).

Status Syariat Islam

Aceh merupakan provinsi satu–satunya di republik ini yang katanya menjalankan syariat Islam secara kaffah. Sebuah kehormatan dan kebanggaan yang tidak diperoleh oleh provinsi lain. Dengan lahirnya Dinas Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah (WH) merupakan keistimewaan tersendiri yang dimiliki oleh Aceh. Meskipun kewenangan lembaga ini masih sangat terbatas, namun setidaknya bisa mengurangi pengangguran dengan tertampungnya sebagian masyarakat yang dipekerjakan sebagai WH. Pemberlakuan hukum cambuk juga merupakan sebuah hal yang istimewa bagi Aceh. Di provinsi lain panggung cuma digunakan untuk acara konser musik, berbeda halnya dengan di Aceh panggung juga berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya hukuman cambuk, luar biasa bukan?

Sebuah pertanyaan yang mungkin terbesit di benak kita semua apakah syariat Islam di Aceh sudah berjalan sebagaimana mestinya? Sudah kaffahkah Islam di Aceh? Nampaknya pertanyaan ini sulit untuk dijawab dan akan lebih bijak jika tidak dijawab. Melihat wajah Aceh hari ini tidak ada bedanya dengan daerah lain seperti Jakarta dan Medan. Jikapun ada perbedaan cuma pada sisi terbuka atau tertutupnya perilaku maksiat. Jika di daerah lain tempat–tempat maksiat dapat dijumpai di setiap jalan dan diketahui oleh masyarakat umum, berbeda dengan di Aceh tempat maksiat lumayan tertutup dan cuma diketahui oleh pelaku maksiat itu sendiri.

Pasca Tsunami
Gempa dan tsunami 26 Desember 2004 yang meluluh–lantakkan Aceh dan menelan korban lebih kurang 240.000 jiwa rupanya tidak mampu memberi pelajaran bagi sebagian masyarakat Aceh. Buktinya pasca kejadian tsunami perilaku maksiat semakin menjadi–jadi di Aceh, padahal sisa puing–puing tragedi tsunami masih terlihat di beberapa tempat di Aceh, sebagai contoh PLTD Apung yang sampai hari ini masih terdampar di Punge Banda Aceh.

Untuk memperingati kejadian tsunami di Aceh juga sudah dibangun museum tsunami yang terletak di kawasan Blang Padang. Namun sayang, potret–potret bekas tsunami hanya menjadi tempat wisata dan tidak mampu mengubah perilaku maksiat yang semakin membumi di Aceh.

Semakin gencarnya dinas syariat dan WH menerapkan syariat Islam semakin gencar pula para pelaku maksiat melancarkan aksinya. Terbukti penerapan hukuman cambuk tidak mampu mengurangi kemaksiatan di Aceh, malah semakin meningkat terlebih lagi pasca bencana tsunami.

Pantauan TV ONE
Kemarin malam (Jumat malam) tepatnya tanggal 15 April 2011 sekira pukul 23.00 WIB, sambil menikmati segelas kupi pancong khas gampong, saya menyaksikan sebuah acara di TV ONE, nama acaranya kalau saya tidak salah ‘Jejak Malam’. Pada awalnya saya tidak begitu tertarik dengan acara tersebut, namun setelah saya melihat Mesjid Baiturrahman terpampang megah di layar televisi membuat pandangan saya sempat tak berkedip. Ada sebuah kebanggaan yang saya sembunyikan dalam hati. “Kadeuh Aceh lam TV ONE” teriak saya kepada kawan yang lagi makan bada pisang thoe di samping saya. Namun kebanggaan yang tadinya bercahaya perlahan meredup dan akhirnya padam. Semangat saya menjadi hilang ketika saya membaca tajuk acara tersebut yang mengambil tema ‘Bisnis Syahwat di Aceh’. Sesuatu yang tidak pernah terduga sebelumnya, sungguh memalukan.

Saya melihat reporter acara tersebut menelusuri beberapa salon yang ada di kota Banda Aceh yang diduga sebagai tempat prostitusi. Sang reporter cantik tersebut sempat mewawancarai beberapa orang pekerja seks komersial (PSK) yang bekerja di salon tersebut. Di acara tersebut juga sempat terlihat beberapa PSK yang sedang melayani para tamunya. “Kataloe Jakarta,“ sorak tengku imum yang juga ikut nonton bersama saya. Pak geuchik yang duduk di belakang saya juga tidak mau kalah, “cok syari`ab Islam,“ katanya dengan suara keras sambil memukul meja yang ada di depannya dan lantas pergi meninggalkan warung.

Pemandangan yang tidak kalah memalukan dalam acara tersebut adalah ditemukannya beberapa diskotik di Banda Aceh. Dulu masyarakat Aceh merasa tabu dengan hal–hal seperti ini, tetapi sekarang malah seolah sudah menjadi sebuah kebutuhan. Demikian jayanya maksiat di Aceh, namun kita tidak pernah sadar. Kita larut dengan kejayaan masa lalu. Sekarang saatnya kita menjawab apa masih pantas Aceh menyandang gelar Serambi Mekkah?

Dulu masyarakat di luar Aceh menganggap Aceh adalah sebuah negeri yang kental dengan syariat Islam. Ketika ada orang luar Aceh yang hendak berkunjung ke Aceh mereka terpaksa menggunakan jilbab dan menutup aurat, tujuan mereka hanya hendak menghargai orang Aceh yang katanya mayoritas muslim dan fanatik terhadap agama. Namun setelah mereka melihat pemandangan di Aceh hari ini, kita semua yakin pendapat mereka akan berubah. Mereka (masyarakat luar Aceh) akan beranggapan bahwa Syariat Islam di Aceh hanyalah sebuah simbol tanpa makna. Wallahu `Alam.[]

Penulis; Khairil Miswar, Sekjend Jeumpa Mirah/peminat masalah–masalah sosial dan agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar