Sumber : id.wikipedia.org
Monumen Patung Dirgantara atau lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran
adalah salah satu monumen patung yang terdapat di Jakarta. Letak monumen ini
berada di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Tepat di depan kompleks
perkantoran Wisma Aldiron Dirgantara yang dulunya merupakan Markas Besar TNI
Angkatan Udara. Posisinya yang strategis karena merupakan pintu gerbang menuju
Jakarta bagi para pendatang yang baru saja mendarat di Bandar Udara Halim
Perdanakusuma.
Patung ini
dirancang oleh Edhi Sunarso sekitar tahun 1964 - 1965 dengan bantuan dari
Keluarga Arca Yogyakarta. Sedangkan proses pengecorannya dilaksanakan oleh
Pengecoran Patung Perunggu Artistik Dekoratif Yogyakarta pimpinan I Gardono.
Berat patung yang terbuat dari perunggu ini mencapai 11 Ton. Sementara tinggi
patung itu sendiri adalah 11 Meter, dan kaki patung mencapai 27 Meter. Proses
pembangunannya dilakukan oleh PN Hutama Karya dengan IR. Sutami sebagai arsitek
pelaksana.
Pengerjaannya
sempat mengalami keterlambatan karena peristiwa Gerakan 30 September PKI di
tahun 1965.
Rancangan
patung ini berdasarkan atas permintaan Bung Karno untuk menampilkan keperkasaan
bangsa Indonesia di bidang dirgantara. Penekanan dari desain patung tersebut
berarti bahwa untuk mencapai keperkasaan, bangsa Indonesia mengandalkan
sifat-sifat Jujur, Berani dan Bersemangat. Total biaya pembuatan Patung
Dirgantara atau Patung Pancoran pada tahun 1964 adalah 12 juta rupiah.
Biaya awal
ditanggung oleh Edhi Sunarso, sang pemahat. Bung Karno menjual mobil pribadinya
seharga 1 juta rupiah pada waktu itu. Pemerintah sendiri hanya membayar 5 juta
rupiah. Sisanya, sebesar 6 juta rupiah, menjadi hutang pemerintah yang sampai
saat ini tidak pernah terbayar.
Edhi Sunarso & Patung Pancoran
Sumber : pks-dpcpancoran.blogspot.com
Manusia besar dengan gagasan besar.
Itu sebuah julukan lain buat Bung Karno. Ciri-ciri manusia besar, terletak pada
peninggalannya yang kekal. Dalam beberapa hal, Bung Karno memenuhi kriteria
itu. Ajarannya tentang Marhaenisme, penemuan ideologi Pancasila, serta semangat
kebangsaan, setidaknya masih bisa kita rasakan hingga detik ini. Sekalipun ia
“dikubur” tiga dasawarsa lamanya, jejak-jejak peninggalan dan karya besar Bung
Karno bergeming dari gerusan zaman.
Selain ide dan gagasan berupa isme, ajaran, spirit, dan nilai-nilai sosial dan politik, Bung Karno juga mewariskan monumen-monumen. Ia menggagas pembangunan masjid Istiqlal yang ia targetkan melebihi kekokohan Candi Borobudur. Ia merancang tugu selamat datang di Bundaran HI yang menjadi icon ibukota. Ia mendirikan tugu pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. Ia juga mengobarkan semangat bangsa melalui Patung Dirgantara di Pancoran.
Nah, yang disebut terakhir, adalah fokus tulisan ini. Boleh dibilang, itulah peninggalan terakhir Bung Karno. Digagas tahun 1965, saat matahari kekuasaannya sudah condong ke barat. Adalah pematung Edhi Sunarso yang mendapat kehormatan, mengerjakan pembuatan patung itu. Edhi adalah pematung kesayangan Bung Karno. Ia pula yang ditunjuk membuat patung “Selamat Datang” di Bundaran HI.
Edhi ingat persis, ketika instruksi Bung Karno diterimanya. Hatinya sempat mandeg-mangu, ragu-ragu, bimbang, dan galau. Sebagai seniman patung, ia belum pernah sama sekali membuat patung dengan bahan perunggu. Sementara perintah Bung Karno jelas, ia menghendaki patung dengan bahan perunggu.
Saat raut wajahnya sulit menyembunyikan perasaan hatinya, Bung Karno segera paham. Maka, berkatalah Bung Karno kepada Edhi, “”Hey Ed, kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak? Apa perlu saya menyuruh seniman luar untuk mengerjakan monumen dalam negeri sendiri? Saya tidak mau kau coba-coba, kau harus sanggup.”
Waktu satu minggu yang diberikan Bung Karno, dijawab tuntas oleh Edhi dengan mengumpulkan teman-teman pematung di Yogya, dan mewujudkan harapan Bung Karno dalam replika yang terbuat dari gypsum. Gaya melambaikan tangan laiknya orang menyambut kedatangan sahabat, diperagakan langsung oleh Bung Karno. Gaya itu pula yang kemudian menjadi model pada patung Tugu Selamat Datang di bundaran HI.
Nah, lain lagi kisah Patung Dirgantara, Pancoran. Proyek itu sempat mangkrak, alias terhenti. Peristiwa 30 September 1965, adalah pemicu terancam gagalnya pembuatan patung itu. Bung Karno menghadapi hantaman dari dalam negeri. Ia didemo nyaris tiap hari. Klimaksnya adalah penolakan MPRS atas pertanggungjawaban Bung Karno, terhadap peristiwa pemberontakan PKI tadi. Buntutnya sama-sama kita ketahui, Bung Karno dilengserkan, dan Soeharto diorbitkan.
Nasib patung Dirgantara yang digagas
Bung Karno sebagai simbol semangat bangsa, terombang-ambing. Meski begitu, Bung
Karno bukan manusia yang meninggalkan sejarah ke-plin-plan-an. Bung Karno tidak
pernah mengajarkan sikap yang kurang bertanggung jawab. Alhasil, sekalipun
nasibnya sendiri di ujung tanduk. Posisinya sebagai presiden terancam. Tekanan
dalam dan luar negeri menghimpit dirinya, Bung Karno tetap komit.
Ia menyempatkan diri untuk memantau perkembangan proyek patung dirgantara tadi. Kepada Bung Karno, dengan nada prihatin, Edhi melaporkan kemandegan proyek tadi. Sekalipun pedestial atau tiang penyangga patung sudah selesai, tapi pekerjaan terancam mandeg, karena pemerintahan transisi tidak menggubrisnya. Di sisi lain, dalam status tahanan politik, dalam kondisi badan yang makin ringkih digerogoti sakit ginjalnya, Bung Karno keukeuh menuntaskan proyek terakhirnya.
Ia menyempatkan diri untuk memantau perkembangan proyek patung dirgantara tadi. Kepada Bung Karno, dengan nada prihatin, Edhi melaporkan kemandegan proyek tadi. Sekalipun pedestial atau tiang penyangga patung sudah selesai, tapi pekerjaan terancam mandeg, karena pemerintahan transisi tidak menggubrisnya. Di sisi lain, dalam status tahanan politik, dalam kondisi badan yang makin ringkih digerogoti sakit ginjalnya, Bung Karno keukeuh menuntaskan proyek terakhirnya.
Edhi sendiri tak sanggup meneruskan pekerjaan itu, mengingat dirinya pun
sudah dililit utang untuk pekerjaan itu. Maklumlah, semua proyek pembuatan
monumen yang ia kerjakan atas perintah Bung Karno, tidak menggunakan semacam
dokumen perintah resmi negara. Murni soal kepercayaan.
Atas kondisi tersebut, Bung Karno lantas memanggil Edhi dan memberinya uang Rp 1,7 juta. Belakangan Edhi baru tahu, uang itu hasil penjualan mobil pribadi Bung Karno. Dengan uang itu, sekalipun belum cukup menutup semua biaya, Edhi langsung menuntaskan pengerjaan patung Dirgantara.
Alkisah… di pagi yang cerah, di hari Minggu tanggal 21 Juni 1970, Edhie sedang berada di puncak Tugu Dirgantara. Tiba-tiba, melintas iring-iringan mobil jenazah. Salah seorang pekerja di bawah sontak memberi tahu Edhi, bahwa yang barusan lewat adalah iring-iringan mobil jenazah… jenazah Bung Karno, sang penggagas Tugu Dirgantara.
Lemas lunglai Edhi demi mendengar berita itu. Ia pun langsung turun dari puncak Tugu Dirgantara, dan menyusul ke Blitar, memberi penghormatan terakhir kepada Putra Sang Fajar.
Belum usai duka berlalu, Edhi bersemangat menuntaskan amanat terakhir Bung Karno. Sekalipun pekerjaan itu meninggalkan utang negara. Sekalipun patung itu tidak pernah diresmikan oleh pemerintahan Soeharto. Tugu Dirgantara tegar berdiri, menggelorakan semangat, mengekspresikan wajah Gatotkaca. Wajah perkasa yang menyimpan duka di balik pembuatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar