Oleh M Adli Abdullah
TEUNGKU Hasan Muhammad di Tiro,
deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sudah dua tahun meninggalkan
rakyat Aceh. Wali Nanggroe, wafat dalam usia uzur 85 tahun, pada Kamis, 3
Juni 2010. Rakyat Aceh merasa kehilangan seorang tokoh pejuang dan
ideolog sejati, yang cukup disegani di peringkat antarabangsa.
Jenazahnya dimakamkan di samping Makam Tgk Chik di Tiro, di Meureu,
Indrapuri, Aceh Besar.
Kepergian Wali, yang kemarin genap dua
tahun, memang mengundang sejumlah tanda tanya, terutama menyangkut apa
dan bagaimana wasiat terakhirnya. Bagi saya, wasiat terakhir ini menjadi
penting, karena sekarang sepertinya kita sudah tidak memiliki spirit
sebagaimana yang pernah digelorakan oleh Wali.
Kisah hidup Wali
memang tidak seperti kisah para sebagian anak ideologisnya saat ini.
Wali sama sekali tidak hidup di istana atau mendapatkan perlakuan
khusus. Wali lahir dari pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah
ini pada 25 September 1925. Pria bertubuh kecil dan pendek ini meraih
gelar Doktor di bidang Hukum Internasional dari Colombia University,
Amerika Serikat.
Wali rela meninggalkan segala kemewahan yang
dimilikinya di Amerika untuk pulang ke Aceh dan mendeklarasikan GAM
pada 4 Desember 1976, di Bukit Cokan, Gunung Halimun, Kabupaten Pidie.
Sejak era 1980-an hingga 2000-an, penggalan demi penggalan pidato dan
tulisan Wali telah menjadi spirit semangat berperang para syuhada. Dalam
memori saya, karya-karya Wali telah berfungsi sebagai Hikayat Prang
Sabi era modern.
Tak lama setelah deklarasi GAM, manuvernya
tercium oleh pihak Jakarta. Operasi militer dengan prajurit khusus
disiapkan untuk menangkap cucu Tgk Chik di Tiro ini. Akibatnya, dia
harus keluar masuk hutan selama tiga tahun bersama pengikut setianya.
Pengalaman yang berkesan di belantara Aceh diakhirinya pada 29 Maret
1979 mengungsi ke luar negeri melalui Batee Iliek. Dia menyakinkan
pengikutnya sebelum meninggalkan Batee Iliek akan kembali lagi ke Aceh.
“Aku pergi untuk kembali,” tulisnya dalam buku The Price of Freedom.
Musuh nomor wahid
Selama
30 tahun lebih, Wali menjadi musuh nomor wahid di Indonesia. Tidak
sedikit yang siap mengorbankan dirinya demi ideologi keacehan yang dia
pertahankan. Pemerintah mencari berbagai cara untuk melunakkan semangat
Wali. Mulai dari menebar poster “tangkap GPLHT (Gerombolan Pengacau Liar
Hasan Tiro)”, “basmi GPK (Gerakan Pengacau Keamanan)”, hingga
diciptakan benih perpecahan di kalangan internal GAM, dan membagikan
rupiah kepada mereka yang dipandang mau menggadaikan perjuangan.
Kisah
ideolog ini mirip seperti peran H Cokroaminoto ketika mendidik
tokoh-tokoh ideologis Indonesia, mulai dari Soekarno hingga Tan Melaka.
Dan, benar adanya, para ideolog cenderung wafat dengan ideologi dan
keyakinan yang teguh. Saya meyakini bahwa 50 tahun yang akan datang,
kisah kehidupan Wali akan menjadi penyemangat generasi muda. Sayang,
Wali tidak mampu mewariskan spirit ini, tidak hanya kepada keluarganya,
tetapi juga kepada orang-orang terdekat di sampingnya.
Dengan
lantang Wali telah menyuarakan perlawanan terhadap rezim Jakarta dengan
menggulirkan gagasan nasionalisme Aceh. Dalam sejarah, hanya satu orang
yang mampu membangkitkan semangat itu yakni Sultan Iskandar Muda.
Sayang, Wali tidak memiliki armada perang dan pasukan yang sesetia
seperti dimiliki Sultan Iskandar Muda. Guna mewujudkan ide dan
perjuangannya, keluarga pun ditinggalkan yakni istrinya Dora, dan anak
semata wayangnya Karim Tiro, demi marwah bangsanya.
Untuk
menyemai benih-benih nasionalisme Aceh, pada 1968 Wali membuka kembali
editorial The New York Times edisi Mei 1873, yang menulis tentang
kegarangan sultan Aceh melawan agresor Belanda. Hasan Tiro mengingatkan
bahwa Aceh adalah negara tua (old state) yang berdaulat. Ada satu karya
yang menjadi rekaman pemikiran Wali, yaitu “Atjeh Bak Mata Donya” yang
terbit pada tahun 1968 di New York.
Buku tersebut merupakan
hasil dari pengamatan Wali setelah mengunjungi pustaka di Amerika,
Inggris, Perancis, Belanda, Spanyol. Dari sini dapat dipahami bahwa Wali
sebelum menggelorakan gerakannya, terlebih dahulu memahami neuduk
nanggroe. Jadi, ketika dia mendoktrinkan anak-anak ideologisnya, Wali
tidak pernah bisa dibantah, karena pengetahuan sejarahnya yang sangat
luar biasa. Kecerdasan ini diwariskan pada anaknya, Prof Dr Karim di
Tiro. Yang sekarang menjadi ahli sejarah Amerika.
Wali hampir
mirip dengan Soekarno, dimana keduanya sangat mementingkan sejarah. Wali
selalu mengingatkan rakyat Aceh agar tidak buta sejarah: “Rakyat Aceh
mesti tahu sejarah, sebab tanpa itu tidak mungkin membina hubungan
dengan negara-negara lain.” Wali adalah tokoh sejarah Aceh kontemporer
yang memberikan seluruh tubuh dan jiwanya kepada tanah leluhurnya.
Agaknya, sulit menemukan sekarang ini yang memiliki kemampuan seperti
Wali.
Wali dalam catatan hariannya mengingatkan generasi Aceh
“Saya serukan Anda untuk melakukan perjuangan bukan hanya bicara. Saya
tidak merekomendasikan perdamaian tetapi kemenangan. Berkaryalah untuk
perjuangan, berdamailah demi sebuah kemenangan” (To you I do not
recommend work but struggle, to you I do not recommend peace but
struggle, let your work be a struggle, let your peace be a victory).
Warisan sejarah
Kita
semua sadar, hanya orang cerdas dan komit yang bisa menulis buku.
Berjilid-jilid. Jika Hasan Tiro tidak menulis pemikiran-pemikirannya,
maka bisa saja warisan ilmu tersebut terlupakan dalam lipatan sejarah.
Demikian juga, Hasan Tiro mampu menguasai minimal lima bahasa, mulai
bahasa Arab, Inggris, Belanda, Perancis dan Swedia. Hanya orang jenius
yang mampu menguasai lebih dari tiga bahasa seperti pahlawan Minang, H
Agus Salim.
Ke depan perlu ada kelanjutan program Wali ini, untuk
mendidik anak-anak Aceh di samping ahli di bidang profesinya tetapi
juga punya sikap dan ideologi untuk bangsanya. Sehingga selesai mereka
belajar, akan berpikir apa yang bisa disumbangkan untuk Aceh, seperti
anak-anak Palestina, Bangladesh, India, yang tak pernah melupakan
negerinya. Bukan setelah selesai belajar di luar negeri harus
berwara-wiri untuk mendapatkan posisi PNS yang ada di Aceh.
Terakhir,
kewajiban semua pihak di Aceh, baik Gubernur dan para Bupati/Wali Kota
yang baru terpilih dalam Pilkada lalu, serta anggota legislatif Aceh
untuk mewujudkan cita-cita wali. Artinya Wali telah selesai berjuang
dengan segala risikonya. Fisik wali sudah berada di liang lahat dan
terbujur kaku. Namun, warisan semangat dan pemikiran-pemikirannya mesti
berlanjut dan digaungkan terus.
* M Adli Abdullah, Pendiri Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah, Meunasah Subung Samalanga, Bireuen. Email: bawarith@gmail.com
Sumber : Serambinews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar