Rabu, 20 Juni 2012

Negeri Tiga Wali


 



KINI Rancangan Qanun Wali Nanggroe kembali dibahas. Ragam tanggapan, masukan, dan bayangan bermunculan di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Semua untuk satu maksud, menempatkan Wali Nanggroe pada posisi yang pas, tentu menurut pendapat masing-masing orang, dan juga kelompok.

Apapun hasilnya, jika kemudian disahkan menjadi Qanun tentang Lembaga/Wali Nanggroe maka Aceh sudah bisa dikatakan sebagai Negeri Tiga Wali karena ada tiga katagori wali yang akan menjadi corak keacehan paska MoU Helsinki. Tiga Wali itu adalah Wali Allah, Wali Al-Amr, dan Wali Nanggroe.

Wali Allah

Kiranya tidak terlalu berlebihan jika penyanyi Aceh, Rafly sampai pada potongan syair yang menegaskan bahwa Aceh adalah bumo tanoh aulia. Hanya saja, apakah yang dimaksud oleh Rafly sebagai tanoh aulia itu lebih kaitannya dengan Wali Allah atau Waliullah? Jika benar maka dasarnya tentu sangat kuat, baik secara teologis maupun secara antropologis.

Hal itu bisa dimaklumi karena memang tradisi pemikiran Islam di Aceh dipenuhi dengan dialog-dialog kesufian dan pada saat yang sama banyak tokoh-tokoh agama di Aceh yang sangat akrab dengan tradisi kesufian. Meski di antara mereka saling berbeda pendapat atau aliran namun hampir semuanya menjadi pengikut dan bahkan menjadi pengembang tasauf baik untuk Aceh maupun keluar Aceh. Bahkan, beberapa Wali Songo kabarnya memiliki garis hubungan pendidikan atau bahkan hubungan keturunan dengan Aceh.

Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumatrani, Syech Abdurrauf atau Syiah Kuala adalah beberapa di antara ulama besar di Aceh yang pernah ada di zaman keemasan kesultanan Aceh dan semuanya memiliki garis kesufian dengan masing-masing aliran tasaufnya sendiri.

Jika Hamzah Fansuri lebih dikenal dengan faham Wahdatul Wujud, Nurruddin Ar-Raniry lebih dikenal dengan faham Wahdatul Syuhud. Sedangkan Syech Abdurrauf yang juga dikenal dengan dengan gelar "Rajulu yusaawi uluufa rijaali" (Seorang laki-laki yang sama nilainya dengan beribu-ribu laki-laki) lebih dikenal dengan tarikat Syattariyah.

“Elit spiritual” di Aceh tentu saja tidak terbatas pada zaman kesultanan atau kerajaan. Banyak sekali ulama-ulama atau teungku di Aceh yang alim dan bahkan dipandang sebagai aulia oleh masyarakat baik pada zaman perang melawan Belanda maupun hingga saat ini.

Hampir semua ulama-ulama yang dihormati dan diikuti oleh masyarakat memiliki garis kesufian yang tentu saja sangat akrab dengan kaedah-kaedah kewalian. Teungku Ibrahim Woyla yang sudah berpulang juga dikenal sebagai sosok aulia Tuhan.

Jadi di Aceh Wali Allah tidak hanya hidup secara teologis dalam kajian dan pemikiran keislaman ulama di Aceh saja, tapi juga secara antropologis bisa ditemukan sosoknya di Aceh, minimal dalam pengertian atau yang mendapat pengakuan dari masyarakat.

Semua “elit spiritual” itu bukan hanya dipahami sebagai sosok yang memiliki kualitas spiritual saja melainkan juga sebagai sosok yang memainkan peran sosial hingga peran politik baik dalam konteks menjadi mitra sultan maupun dalam konteks sebagai pemimpin kedamaian, atau hanya sebatas pemimpin nonformal di masyarakat.

Wali Al-Amr

Kewalian tentu tidak hanya dikenal dalam kazanah kesufian saja. Dalam khazanah fiqh juga dikenal istilah wali dan amir yang kala disatukan menjadi “wali al-amr” atau yang dalam bahasa Arabnya "waliy-u 'l-amr" yang bermakna penguasa atau pemerintah.

Memang, terkait dengan siapa yang dimaksud dengan “wali al-amr” ada beda pendapat. Ada yang menyatakan mereka yang ahli agama (ulama) tapi ada juga yang menyatakan umara atau amir (penguasa). Namun, bagi Imam Al-Mawardi lebih condong ke umara atau penguasa dari pemimpin tertinggi hingga terendah.

Pemimpin tertinggi dan jajarannya masuk dalam “wulad” (mufradnya wali sebagai singkatan dari waliy-u 'l-amr) dan umara (tunggalnya amir) yaitu penguasa yang diberi kewenangan dalam satu urusan tertentu, atau suatu daerah kekuasaan tertentu. Jadi wilayah kekuasaan “Wali Al-Amr” sudah masuk ke wilayah publik dalam lingkup hukum publik (al-ahkam al-sulthaniyah). Ini untuk membedakan dengan wali anak atau wali nikah misalnya yang lebih ke wilayah kekuasaan natural atau alamiah.

Jika dicermati uraian Imam Al-Mawardi lebih lanjut tentang 20 kewenangan yang dimiliki oleh “Wali Al-Amr” maka mulai yang namanya khilafah atau presiden dan selanjutnya (para pembantunya) adalah “Wali Al-Amr” karena kepada mereka sudah melekat akad dan juga legalitas atau otoritas (tauliyah).

Dari penjelasan singkat dan sederhana itu bisa dipahami bahwa Gubernur Aceh beserta perangkatnya bisa juga disebut dengan Wali, atau lengkapnya “Wali Al-Amr” karena dipilih, diikat janji, dan diakui serta diberi kewenangan dalam urusan tertentu dalam wilayah publik dan hukum publik.

Salah satu ayat Quran yang sudah umum diketahui terkait Wali Al-Amr adalah “Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah rasulNya dan "ulil amri" dari kalian...” (An-Nisa 59).

Wali Nanggroe

Terlepas dari debat argumentasi filosofis terkait asbab nuzul wali nanggroe, yang jelas dinamika sosial-politik Aceh telah mengalami ragam transformasi terkait model kepemimpinan Aceh, yang kini semakin menghendaki adanya posisi wali nanggroe dalam tata kelola lokal nanggroe Aceh.

Tuntutan ini wajar jika dicermati ragam kegagalan model kepemimpinan Aceh sebelumnya baik saat dipimpin kalangan elit raja dan keluarganya maupun saat dipimpin kalangan elit tengku beserta muridnya, termasuk saat dipimpin kalangan elit intelektual dan team worknya, dan kini oleh elit pergerakan berserta pendukungnya.

Sangat terasa betapa konsep pembagian kekuasaan dalam formula adat bak po teumeureuhom, hukom bak syiah kuala, qanun bak putroe phang, resam bak laksamana ternyata belum bisa terkelola dengan baik karena di atas semua pihak tidak ada posisi yang memiliki kewenangan istimewa untuk menjaga moral keacehan.

Kewenangan istimewa dalam hal etik dan spirit (moral) keacehan itu menjadi penting mengingat watak "perlawanan" ureung Aceh, yang selalu gagal manakala dihadapi oleh Wali Al-Amr semata. Bahkan, kalangan ulama pun nyaris kehilangan wibawa jika harus dihadapkan dengan watak perlawanan yang tumbuh di Aceh.

Dengan begitu, keberadaan Wali Nanggroe dengan hak istimewanya terkait moral keacehan menjadi sangat penting. Dan dengan kolaborasi ketiga kewalian yang ada di Aceh akan semakin menjamin stabilitas politik dan keamanan yang memang sangat dibutuhkan untuk menggalakkan pembangunan Aceh selanjutnya.

Terakhir, apapun definisi definitif yang akhirnya dipakai nantinya yang jelas keberadaan Wali Nanggroe secara nyata di Aceh akan menjadi bagian yang akan menentukan corak keacehan lebih lanjut, sekaligus akan menegaskan bahwa Aceh akan segera menjadi Negeri Tiga Wali baik untuk menjaga moralitas kedirian (waliullah), kesejahteraan, keadilan dan keamanan (wali al-amr), dan spirit keacehan (Wali Nanggroe).

"Di atas langit masih ada langit" kata orang bijak. Itu maknanya, meski Aceh sudah dijaga oleh tiga wali tetap saja wali yang paling utama adalah seperi gambaran firman Allah berikut “Sesungguhnya Wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dalam keadan ruku.” (Al Maidah 55), selebihnya adalah para wali yang diperlukan karena kebutuhan penegasan dan perawatan identitas. Ungkapan "Aceh beda" pada saatnya segera ditemukan wujudnya, dengan keberadaan Sang Wali, milik seluruh orang Aceh.

Sumber : atjehpost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar