OPINI RISMAN A RAHMAN
KINI Rancangan Qanun Wali Nanggroe kembali
dibahas. Ragam tanggapan, masukan, dan bayangan bermunculan di Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU). Semua untuk satu maksud, menempatkan Wali Nanggroe pada
posisi yang pas, tentu menurut pendapat masing-masing orang, dan juga kelompok.
Apapun hasilnya, jika kemudian disahkan menjadi
Qanun tentang Lembaga/Wali Nanggroe maka Aceh sudah bisa dikatakan sebagai
Negeri Tiga Wali karena ada tiga katagori wali yang akan menjadi corak keacehan
paska MoU Helsinki. Tiga Wali itu adalah Wali Allah, Wali Al-Amr, dan Wali
Nanggroe.
Wali Allah
Kiranya tidak terlalu berlebihan jika penyanyi
Aceh, Rafly sampai pada potongan syair yang menegaskan bahwa Aceh adalah bumo
tanoh aulia. Hanya saja, apakah yang dimaksud oleh Rafly sebagai tanoh aulia
itu lebih kaitannya dengan Wali Allah atau Waliullah? Jika benar maka dasarnya
tentu sangat kuat, baik secara teologis maupun secara antropologis.
Hal itu bisa dimaklumi karena memang tradisi
pemikiran Islam di Aceh dipenuhi dengan dialog-dialog kesufian dan pada saat
yang sama banyak tokoh-tokoh agama di Aceh yang sangat akrab dengan tradisi
kesufian. Meski di antara mereka saling berbeda pendapat atau aliran namun
hampir semuanya menjadi pengikut dan bahkan menjadi pengembang tasauf baik
untuk Aceh maupun keluar Aceh. Bahkan, beberapa Wali Songo kabarnya memiliki
garis hubungan pendidikan atau bahkan hubungan keturunan dengan Aceh.
Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin
As-Sumatrani, Syech Abdurrauf atau Syiah Kuala adalah beberapa di antara ulama
besar di Aceh yang pernah ada di zaman keemasan kesultanan Aceh dan semuanya
memiliki garis kesufian dengan masing-masing aliran tasaufnya sendiri.
Jika Hamzah Fansuri lebih dikenal dengan faham
Wahdatul Wujud, Nurruddin Ar-Raniry lebih dikenal dengan faham Wahdatul Syuhud.
Sedangkan Syech Abdurrauf yang juga dikenal dengan dengan gelar "Rajulu
yusaawi uluufa rijaali" (Seorang laki-laki yang sama nilainya dengan
beribu-ribu laki-laki) lebih dikenal dengan tarikat Syattariyah.
“Elit spiritual” di Aceh tentu saja tidak
terbatas pada zaman kesultanan atau kerajaan. Banyak sekali ulama-ulama atau
teungku di Aceh yang alim dan bahkan dipandang sebagai aulia oleh masyarakat
baik pada zaman perang melawan Belanda maupun hingga saat ini.
Hampir semua ulama-ulama yang dihormati dan
diikuti oleh masyarakat memiliki garis kesufian yang tentu saja sangat akrab
dengan kaedah-kaedah kewalian. Teungku Ibrahim Woyla yang sudah berpulang juga
dikenal sebagai sosok aulia Tuhan.
Jadi di Aceh Wali Allah tidak hanya hidup secara
teologis dalam kajian dan pemikiran keislaman ulama di Aceh saja, tapi juga
secara antropologis bisa ditemukan sosoknya di Aceh, minimal dalam pengertian
atau yang mendapat pengakuan dari masyarakat.
Semua “elit spiritual” itu bukan hanya dipahami
sebagai sosok yang memiliki kualitas spiritual saja melainkan juga sebagai
sosok yang memainkan peran sosial hingga peran politik baik dalam konteks
menjadi mitra sultan maupun dalam konteks sebagai pemimpin kedamaian, atau
hanya sebatas pemimpin nonformal di masyarakat.
Wali Al-Amr
Kewalian tentu tidak hanya dikenal dalam kazanah
kesufian saja. Dalam khazanah fiqh juga dikenal istilah wali dan amir yang kala
disatukan menjadi “wali al-amr” atau yang dalam bahasa Arabnya "waliy-u
'l-amr" yang bermakna penguasa atau pemerintah.
Memang, terkait dengan siapa yang dimaksud dengan
“wali al-amr” ada beda pendapat. Ada yang menyatakan mereka yang ahli agama
(ulama) tapi ada juga yang menyatakan umara atau amir (penguasa). Namun, bagi
Imam Al-Mawardi lebih condong ke umara atau penguasa dari pemimpin tertinggi
hingga terendah.
Pemimpin tertinggi dan jajarannya masuk dalam
“wulad” (mufradnya wali sebagai singkatan dari waliy-u 'l-amr) dan umara
(tunggalnya amir) yaitu penguasa yang diberi kewenangan dalam satu urusan
tertentu, atau suatu daerah kekuasaan tertentu. Jadi wilayah kekuasaan “Wali
Al-Amr” sudah masuk ke wilayah publik dalam lingkup hukum publik (al-ahkam
al-sulthaniyah). Ini untuk membedakan dengan wali anak atau wali nikah misalnya
yang lebih ke wilayah kekuasaan natural atau alamiah.
Jika dicermati uraian Imam Al-Mawardi lebih
lanjut tentang 20 kewenangan yang dimiliki oleh “Wali Al-Amr” maka mulai yang
namanya khilafah atau presiden dan selanjutnya (para pembantunya) adalah “Wali
Al-Amr” karena kepada mereka sudah melekat akad dan juga legalitas atau
otoritas (tauliyah).
Dari penjelasan singkat dan sederhana itu bisa
dipahami bahwa Gubernur Aceh beserta perangkatnya bisa juga disebut dengan
Wali, atau lengkapnya “Wali Al-Amr” karena dipilih, diikat janji, dan diakui
serta diberi kewenangan dalam urusan tertentu dalam wilayah publik dan hukum
publik.
Salah satu ayat Quran yang sudah umum diketahui
terkait Wali Al-Amr adalah “Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan
taatilah rasulNya dan "ulil amri" dari kalian...” (An-Nisa 59).
Wali Nanggroe
Terlepas dari debat argumentasi filosofis terkait
asbab nuzul wali nanggroe, yang jelas dinamika sosial-politik Aceh telah
mengalami ragam transformasi terkait model kepemimpinan Aceh, yang kini semakin
menghendaki adanya posisi wali nanggroe dalam tata kelola lokal nanggroe Aceh.
Tuntutan ini wajar jika dicermati ragam kegagalan
model kepemimpinan Aceh sebelumnya baik saat dipimpin kalangan elit raja dan
keluarganya maupun saat dipimpin kalangan elit tengku beserta muridnya,
termasuk saat dipimpin kalangan elit intelektual dan team worknya, dan kini
oleh elit pergerakan berserta pendukungnya.
Sangat terasa betapa konsep pembagian kekuasaan
dalam formula adat bak po teumeureuhom, hukom bak syiah kuala, qanun bak putroe
phang, resam bak laksamana ternyata belum bisa terkelola dengan baik karena di
atas semua pihak tidak ada posisi yang memiliki kewenangan istimewa untuk
menjaga moral keacehan.
Kewenangan istimewa dalam hal etik dan spirit
(moral) keacehan itu menjadi penting mengingat watak "perlawanan"
ureung Aceh, yang selalu gagal manakala dihadapi oleh Wali Al-Amr semata.
Bahkan, kalangan ulama pun nyaris kehilangan wibawa jika harus dihadapkan
dengan watak perlawanan yang tumbuh di Aceh.
Dengan begitu, keberadaan Wali Nanggroe dengan
hak istimewanya terkait moral keacehan menjadi sangat penting. Dan dengan
kolaborasi ketiga kewalian yang ada di Aceh akan semakin menjamin stabilitas
politik dan keamanan yang memang sangat dibutuhkan untuk menggalakkan
pembangunan Aceh selanjutnya.
Terakhir, apapun definisi definitif yang akhirnya
dipakai nantinya yang jelas keberadaan Wali Nanggroe secara nyata di Aceh akan
menjadi bagian yang akan menentukan corak keacehan lebih lanjut, sekaligus akan
menegaskan bahwa Aceh akan segera menjadi Negeri Tiga Wali baik untuk menjaga
moralitas kedirian (waliullah), kesejahteraan, keadilan dan keamanan (wali
al-amr), dan spirit keacehan (Wali Nanggroe).
"Di atas langit masih ada langit" kata
orang bijak. Itu maknanya, meski Aceh sudah dijaga oleh tiga wali tetap saja
wali yang paling utama adalah seperi gambaran firman Allah berikut
“Sesungguhnya Wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dalam keadan ruku.” (Al
Maidah 55), selebihnya adalah para wali yang diperlukan karena kebutuhan
penegasan dan perawatan identitas. Ungkapan "Aceh beda" pada saatnya
segera ditemukan wujudnya, dengan keberadaan Sang Wali, milik seluruh orang Aceh.
Sumber :
atjehpost.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar