Jeruk nabire memiliki rasa manis yang khas.
Meskipun sebagian kulit luar tampak masih hijau, sesungguhnya jeruk itu sudah
matang dan siap dikonsumsi. Inilah salah satu oleh-oleh khas Papua.
Jeruk ini mulai dibudidayakan tahun 1991-1992
oleh warga transmigrasi asal Jawa.
Namun, jeruk ini baru populer di sebagian daratan
Papua tahun 2000-an. Pohon jeruk manis mirip sunkist ini memiliki tinggi 3-4,5
meter. Sentra budidaya jeruk ini di Satuan Permukiman (SP) 3 Nabire. Namun,
lambat laun, lahan jeruk berkurang karena sebagian besar lahan diambil alih
penduduk lokal dengan alasan lahan transmigran itu telantar. Hampir separuh
kawasan itu dikuasai penduduk asli.
Pengamatan di SP 3 Nabire awal Mei lalu
menunjukkan, sebagian jeruk yang sudah berusia sekitar 20 tahun mulai keropos,
kering, dan tak berbuah. Batang jeruk hitam-keputihan berbintik, dihinggapi
serangga (semut). Dahan, ranting, dan carang jeruk pun mengering.
Wakidiantono (50), petani jeruk di SP 3 Nabire,
mengatakan, memiliki lahan seluas 2.500 meter persegi dari total lahan satu
hektar yang dimiliki sejak awal datang, tahun 1981. Sekitar 7.000 meter persegi
lahan sudah diambil alih pemilik. Sisa lahan 500 meter persegi untuk rumah
tinggal dan pekarangan.
”Keuntungan hanya Rp 1,5 juta per musim panen.
Tapi ini belum termasuk biaya pupuk, penyemprotan, dan lainnya sehingga total
pengeluaran Rp 1,4 juta. Tidak untung banyak karena tengkulak datang langsung
ke lokasi. Biasanya mereka borong 1 peti sekitar 50 kilogram (kg) dengan harga
Rp 120.000. Jeruk yang saya panen berkisar antara 13-15 peti atau Rp
1.560.000-Rp 1.800.000 per musim panen,” kata Wakidianto.
Ia tidak semata bergantung pada jeruk. Wakidianto
masih beternak tiga ekor sapi dan ayam potong untuk mengatasi kesulitan lahan
olahan yang semakin sempit.
Jeruk-jeruk itu bertahan hanya hingga 10 hari
sehingga petani pun tidak mempertahankan harga yang ditetapkan tengkulak.
Mereka terpaksa menyetujui permintaan tengkulak.
Menurut Ketua Kelompok Tani Jeruk Nabire,
Mulutdiono (49), satu pohon jeruk biasanya menghasilkan 10 kg buah, tetapi
dipanen secara bertahap, sampai enam kali dalam setahun. Harga jeruk Rp 4.000
per kg, langsung di pohon, tetapi di tangan tengkulak menjadi Rp 7.000- Rp
8.000 per kg.
Dihantam penyakit
Namun, penyakit jeruk dalam lima tahun terakhir
membuat petani setempat tak lagi tertarik membudidayakan jeruk. Gejala pohon
yang diserang hama, tampak berbuah sangat lebat tetapi memasuki usia 5-10 hari,
tiba-tiba daun mengering, rontok, kemudian mati.
”Petugas PPL yang datang ke lokasi pun mengaku
tidak tahu jenis hama dan cara mengatasi. Mereka hanya menyarankan kulit pohon
jeruk dikupasi keliling dengan lebar sekitar 5 cm kemudian dibaluti kapur. Itu
pun kami sudah lakukan, tetapi tidak berhasil,” kata Mulutdiono.
Suparmin, transmigran asal Malang, Jawa Timur,
memiliki satu hektar kebun jeruk. Panen pertama 190 peti (9.500 kg) dan panen
kedua 170 peti (8.500 kg). Komoditas tersebut dijual dengan harga Rp 150.000
per peti. Dalam satu musim, dia berhasil mengumpulkan Rp 54 juta.
Saat terserang hama (jamur), bagian itu dipangkas
(dipotong), atau bagian batang langsung dibaluti kapur sirih dan belerang.
Pengetahuan itu diperoleh dari orangtuanya di Malang, yang juga pembudidaya
jeruk.
Ia mengatakan, ada rencana dari Pemerintah
Kabupaten Nabire dan Pemerintah Provinsi Papua memperluas jeruk nabire. Tetapi
persoalannya, sebagian lahan pertanian warga transmigrasi diambil alih penduduk
asli tanpa alasan jelas.
”Mereka garap begitu saja, sambil mengatakan,
kamu punya sertifikat dari pemerintah tetapi kami punya tanah, warisan dari
leluhur. Kami juga ingin hidup di tanah sendiri. Nah, kalau mereka omong
seperti itu, kami mau apalagi. Masalah ini sudah diketahui pemerintah setempat,
tetapi belum ada tindakan,” kata Suparmin.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Nabire
JS Maniani mengatakan, total luas lahan jeruk nabire sekitar 10.188 hektar
dengan produksi rata-rata 62.800 ton per tahun. Jeruk dikembangkan bersamaan
dengan kehadiran transmigran, yang menyebar dari pinggiran kota Nabire, yakni Morgomulyo
sampai kampung Bumi Raya, 15 km dari Nabire.
Buah primadona
Jeruk nabire merupakan buah primadona Papua,
selain matoa. Rasa jeruk sama manis dengan jeruk impor, meskipun jeruk nabire
tidak tampak seperti jeruk impor asal China.
”Jeruk nabire pernah dipesan Istana Negara untuk
peringatan 17 Agustus 2010. Kami kirim 250 kg dan mendapat sambutan luar biasa.
Mereka mengapresiasi jeruk itu dan terus mendorong agar pemkab dan pemprov
terus memperluas areal tanaman jeruk yang ada,” kata Maniani.
Jeruk nabire biasanya dikirim ke Manado, Sorong,
Biak, Manokwari, Jayapura, dan Timika. Tetapi jeruk ini kalah bersaing dengan
jeruk impor yang membanjiri sejumlah swalayan, toko buah, dan pasar di sejumlah
kabupaten di Papua.
Pengamatan di Bandara Nabire, ratusan calon
penumpang yang hendak keluar dari Nabire menenteng jeruk yang sudah dalam
bentuk kemasan dengan ukuran 4 kg-6 kg. Ternyata jeruk nabire lebih diminati
warga Jayapura, Timika, Manokwari dan Sorong ketimbang jeruk impor.
Jerson Kapouw, warga Sentani, Jayapura, penikmat
jeruk nabire ditemui di Bandara Nabire mengatakan, jeruk impor yang ada di
sejumlah toko dan swalayan Jayapura airnya tidak banyak sehingga hanya terasa
seperti gabus saat dikunyah.
Jeruk impor sengaja diproses dengan bahan kimia sehingga
buahnya kelihatan besar, tetapi kulitnya lebih tebal. Daging jeruk pun sedikit.
Tetapi jeruk nabire rasanya manis, isinya padat, berair penuh, dan tidak ada
pupuk atau bahan kimia seperti jeruk impor. ”Manisnya itu, kitong suka,” kata
Kapouw.
Sumber : kompas.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar